A. Sarana Sembahyang
Pelaksanaan
persembahyangan memerlukan sarana untuk sembahyang sebab tanpa sarana seseorang
akan mengalami kesulitan untuk mewujudkannya. Sarana sembahyang itu
diklasifikasikan menjadi 2 bagian pokok, yaitu sarana yang tidak berwujud benda
atau nonmetri, seperti keyakinan atau kepercayaan (Sraddha) dan mantra atau
puja, dan sarana yang berwujud benda seperti daun, bunga, dan buah, api atau
dupa.
1. BUNGA
Bunga
berfungsi sebagai symbol Tuhan (Siwa). Bunga berfungsi sebagai sarana
persembahan sehingga bunga di pakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang
akan di persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewata,
bhatara-bhatari dan roh suci leluhur. Bunga adalah salah satu unsur sarana
persembahyangan yang digunakan oleh umat Hindu untuk memuja kehadapan Tuhan.
Dengan
sarana pokok seperti daun, bunga dan buah tersebut, dibuatlah satu bentuk persembahyangan,
seperti canang, kwangen, bhasma dan bija, serta api dan air. Apabila kita mau memahaminya,
semua sarana persembahyangan memiliki arti dan makna yang sangat dalam dan
merupakan perwujudan dari tattwa agama Hindu.
A. Canang
Kata canang berasal
dari bahasa Jawa Kuno. Pada mulanya, berarti sirih yang disuguhkan kepada para
tamu yang sangat di hormati. Kebiasaan makan sirih ini merupakan tradisi yang
sangat terhormat. Jadi, sirih merupakan sarang yang benar-benar memiliki suatu
nilai yang sangat tinggi. Sririh merupakan symbol kehormatan. Sirih merupakan
unsure pokok atau dasar dari porosan, sedangkan porosan merupakan unsure
terpenting dari canang. Apabila kita mengamati sebuah canang, hal yang paling
dasar yang pelu kita lihat adalah sebuah ceper diatasnya daun. Diatas daun
tertata porosan, tebu, pisang dan
kekiping.berdasarkan pengamatan itu, kita ketahui unsur-unsur pokok dari canang
adalah sebagai berikut :
1. Porosan
Porosan merupakan
unsure sarana pokok dalam canang. Porosan dibuat dari sarana sirih, kapur, dan
buah yang dijepit atau dibungkus dengan bentuk lancip dari potongan janur.
Lontar Yadnya Prakerti menyebutkan bahwa porosan adalah lambing untuk memuja
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai sang Tri Murti.
2. Plawa
Plawa disebut juga
daun-daunan. Berdasarkan penjelasan Lontar Yadnya Prakerti, Plawa melambangkan
tumbuhnya pkiran yang hening dan suci. Fungsinya sebagai Sang Tri Murti
hendaknya berusaha menumbukan pikiran yang suci dan hening.
3. Bunga
Bunga yang terdapat
dalam canang melambangkan keikhlasan. Memuja Tuhan Yang Maha Esa hendaknya
dengan berlandaskan ketulusikhlaskan. Apabila segala sesuatu yang kita tidak
terjadi dalam hidup dan kehidupan ini dan semuanya terjadi secara alami,
hendaknya kita mengikhlaskannya.
4. Tetuwasan,
Reringgitan, Jejahitan
Tetuwasan, reringgitan
dan jejahitan merupakan lambing keteguhan atau kelanggengan umat manusia.
Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap di pertahankan. Pikiran yang
teguh dan langgeng tetap dibutuhkan dan menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan.
5. Urassari
Urassari merupakan
salah satu dari bagian unsur-unsur canang yang dibuat dan dipersembahkan oleh
umat Hindu kehadapan Tuhan. Urassari dibaut dari garis silang yang menyerupai
tampak dara, yaitu sebagai bentuk sederhana dari Swastika. Urassari yang
tersusun dengan jejahitan, tetuwasan, dan reringgitan tertata sedemikian rupa
menjadi bentuk lingkarang yang menyerupai bentuk Padma Astadala. Berdasrkan
ajaran agama Hindu, alam semesta ini tercipta oleh Tuhan melalui tiga proses,
antara lain, pertama Srati adalah proses penciptaan alam semesta. Kedua
Swastika adalah proses ketika alam mencapai puncak keseimbangan yang bersifat
dinamis. Ketiga Pralaya, adalah proses alam semesta melebur kembali menuju
asalnya, yaitu Tuhan yang Maha Esa sebagai penciptanya.
Demikianlah canang
mengandung makna :
·
Sebagai lambing perjuangan hidup manusia
·
Sebagai lambing menumbuhkan keteguhan,
kelanggengan, dan kesucian pikiran manusia
·
Sebagai lambing suatu usaha umat manusia
untuk menvisualisasikan ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang dapat
memberikan keterangan tentang arti dan makna hidup ini.
2. KWANGEN
Fungsi
kwangen ialah untuk mengharumkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kwangen dibuat dari
daun pisang yang berbentuk kojong dan dilengkapi dengan plawa, dua potong daun
sirih yang di lengkapi dengan buah pinang dan kapur digulung menjadi satu, dua
kepeng uang bolong, hiasan pucaknya berupa reringgitan berupa cili, dan
dilengkapi dengan bunga. Kwangen ialah lambing perwujudan Omkara. Omkara
sebagai Ekasksara meruapak lambang Tuhan Yang Maha Esa. Dari segi bentuknya
Omkara dibagi menjadi 3 bagian yaitu, atas = Nada, tengah = windu, dan bawah =
Ardacandra. Dalam bentuknya kwangen, pada bagian bawah yang lancip =
Ardacandra, uang kepeng yang bulat = Windu, dan sampian yang berbentuk cili,
bunga dan plawa = Nada, porosan silih asih sebagai lambing purusa dan pradana.
3.
API,
DHUPA dan DHIPA
Dalam
pelaksanaan upacara persembahyangan, api diwujudkan dengan dhupa dan dhipa.
Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berasap sehingga
mengeluarkan bau yang harum, sedangkan dhipa adalah peduapaan atau api yang
diguanakan untuk memuja oleh para sulinggih. Api (dhupa dan dhipa) memiliki
sifat sebagai penerangan yang memberikan penerangan dari berbagai macam
kegelapan. Dalam ajaran agama Hindu kata api juga disebut apuy, agni atau
wahni. Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki fungsi sebagai pencipta
semua yang ada ini disebut Dewa Brahma. Untuk memohon kesucian dalam
melaksanakan persembahyangan, umat Hindu juga memfungsikan api sebagai
sarananya. Berikut fungsi api menurut ajaran agama hindu :
a. Api Berfungsi Sebagai Saksi saat
Umat Hindu Melaksanakan Upacara Agama
Di
dalam pelaksanaan upacara pesembahyangan, bentuk api dilambangkan sebagai saksi
upacara. Dhupa dan dhipa dipandang sebagai pendeta pemimpin upacara yang
difungsikan sebagai saksi dalam pelaksanaan upacara. Api dhupa adalah lambang
api saksi. Api dhupa atau asap merupakan angga sarira Sang Hyang Agni. Sinar
dari api itulah yang menerangi alam semesta beserta isinya. Dalam keadaan yang
seperti itu, Sang Hyang Agni merupakan saksi yang Maha Melihat segala aktivitas
yang dilakukan oleh umat manusia.
Seluruh
kehidupan di dunia ini juga disaksikan oleh api yang maha besar yang merupakan
sumber dari segala sumber api, yaitu matahari. Dalam sastra Siwagama, umat
Hindu menemukan konsep dasar tentang persembahan Sanggar Surya dalam
pelaksanaan upacara Panca Yadnya. Sanggar Surya merupakan tempat memuja Siwa
Raditya sebagai saksi agung kehidupan di dunia ini. Tujuan pemujaan yang
dilaksanakan ke hadapan Siwa Raditya adalah untuk memohon persaksian ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Siwa Raditya.
b. Api sebagai Pendeta Pemimpin
Upacara
Pendeta
adalah sulinggih atau orang suci menurut ajaran agama Hindu beliau telah
melalui proses upacara diksa atau penyucian yang secara simbolis telah amati
raga, amati aran, amati wasa, dan amati sesana, yaitu meninggalkan badan wadah,
meninggalkan namanya semula, mengganti atribut dan mengubah tingkah lakunya
dengan lahir kembali mewakili Tuhan menjadi pemimpin umat untuk dapat kembali
ke asalnya. Pelaksanaan uapaca keagamaan biasanya dipimpin oleh sang sulinggih
yang disebut juga pendeta dan pemangku atau pinandita. Ketiga pendeta ini masing-masing
memiliki senjata agni. Dari senjata agni yang dipakai oleh para Pendeta ini
dalam memimpin upacara dapat dinyatakan beliau ialah sebagai saksi dari yadnya
yang dipersembahkan oleh umat Hindu.
c. Api sebagai Perantara Pemuja dengan
yang Dipuja
Untuk
para pemuja yang telah memiliki tingkat kemampuan sangat tinggi (Wijnana dan
Jnananya) dalam memuja Tuhan, penggunaan sarana api tidaklah dipandang penting.
Biasanya, mereka sudah mampu mengaktifkan atau menghidupkan api yang ada pada
dirinya sendiri. Disamping disebutkan api, matahari juga merupakan sarana bagi
kita untuk melaksanakan yadnya. Matahari merupakan sumber dari segala sumber api
yang ada di alam semesta ini. Demikian juga dapat kita lihat pada saat umat
Hindu sembahyang mengarah pada matahari. Hal ini menggunakan matahari sebagai
perantara untuk memuja Tuhan beserta berbagai macam manifestasi-Nya. Tanpa
sinar matahari, dunia ini pun akan gelap dan membeku adanya. Ini berarti Tuhan
telah beryadnya kepada manusia dengan menciptakan matahari. Jadi,
konsekuensinya manusia pun hendaknya melaksanakan yadnya kepada Tuhan dengan
perantara matahari (api) yang diciptakn-Nya. Hal ini bukan berarti umat Hindu
menyembah matahari atau api, melainkan matahari dan api hanyalah sarana untuk
melakukan pemujaan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
d. Api Berfungsi sebagai Pembasmi
Segala Kotoran dan Pengusir Roh Jahat
Umat
Tuhan beserta manifestasi-Nya dalam persembahyangan hendaknya dalam keadaan
bersih dan suci secara lahir dan batin. Pikiran, perkataan, dan prilaku yang
ditampilkan oleh jasmani umat dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa,
hendaknya dalam keadaan bersih atau suci. Dengan demikian, ketenangan dalam
bersembahyang akan dapat diwujudkan. Dalam persembahyangan sangat diperlukan
kebersihan atau kesucian lahir dan batin seseorang yang akan bersembahyang.
Tindakan awal yang wajib dilakukan adalah memperagakandhupa yang sudah menyala,
dipegang setinggi ulu hati disertai dengan mantra. Dengan demikian, kotoran
yang masih melekat pada bunga tersebut dapat dibasmi oleh api dhupa tersebut.
Umat pun dapat dengan tenang, hening, bersih dan suci untuk menghadap kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Fungsi api sebagai pembasmi atau penumpas musuh yang
dilindungi oleh roh jahat, melenyapkan kesedihan dan menyucikan upacara yadnya
adalah sebagai berikut :
“Ghratahawana
didiwah pratisma risato daha agni twam rasaswinah”
(Reg
Weda, I.4.12.5)
Yang artinya :
Oh, Agni
yang bercahaya, kepada-Mu minyak suci disiapkan menyala, menumpas musuh yang
dilindungi oleh setan (roh jahat).
“Kawimagnimupa
sthuti satya dharmanemadrwara dewami wiacatanam”
(Reg
Weda, I.1.4.12.7)
Yang artinya :
Agni
kami puja Engkau dalam yajna, pendeta yang selalu berbuat benar, dewa yang
melenyapkan kesedihan.
“Sanah
pawake didiwo ‘gne dewam iha waha upayajnam hawiscanah”
(Reg
Weda, I.1.4.12.10)
Yang artinya :
Bawalah
yang demikian itu kepada persembahan yadnya kami, Agni menyucikan, undanglah
dewa-dewa pada persembahan kami.
Apabila
kita perhatikan syair-syair kita tersebut diatas dengan jelas dapat disimpulkan
bahwa api sebagai wujud Dewa Agni memiliki fungsi untuk menumpas atau mengusir
(menetralisir) kekuatan-kekuatan roh jahat dalam kehidupan ini. Disamping itu
juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyucikan hati umat manusia dan menyucikan
segala upakara yadnya yang dinodai oleh kotoran. Api dalam kehidupan manusia
dapat dipergunakan sebagai lambang yang baik dan juga sebagai lambang yang
tidak baik. Kitab suci Bhagawadgita mengklasifikasikan jiwa manusia yang suci
disebut daiwi sampad dan jiwanya yang kotor disebut dengan asuri sampad. Kitab
Bhagawadgita menjelaskan bagaimana api jiwatman manusia dapat dibangkitkan
dengan yoga untuk memadamkan api indria, guna menyucikan jiwatmanya dari
pengaruh buruk nafsu-nafsu duniawi.
4. AIR
(TIRTHA)
Air merupakan kebutuhan hidup yang sangat utama. Air
bukan hanya diperlukan oleh umat manusia
dalam hidup dan kehidupan ini, tetapi juga sangat diperlukan oleh mahluk
lainnya. Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama, air dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut :
a.
Air dalam artian jasmani adalah air yang
dapat dikonsumsi setiap hari untuk kepentingan mandi, mencuci dan memasak.
b.
Air dalam artian rohani adalah air untuk
menyucikan lahir dan batin umat manusia yang disebut tirtha atau air suci.
Menurut ajaran agama Hindu, tirtha memiliki fungsi sebagai sarana untuk
membersihkan dan menyucikan lahir dan batin umat manusia dari kotoran atau
kecemaran atau leleh. Cara penggunaannya adalah dipercikan di kepala, diminum
dan raupkan pada muka masing-masing tiga kali.
Dalam
pelaksanaa persembahyangan dari awal persiapan sampai akhir pelaksanaannya,
umat mendaptkan 2 macam tirtha.
·
Pertama adalah sebelum persembahyangan
dimulai umat dan upakara yang akan dipersembahkan ke hadapan para dewata
sebagai manifestasi Tuhan terlebih dahulu diperciki Tirtha Pembersihan.
·
Kedua adalah setelah umat melaksanakan
persembahyangan barulah mendapatkan Tirtha
Wangsuhpada dari para dewata yang dipujanya.
A.
Tirtha yang dibuat oleh Sulinggih
Para
sulinggih, Sang Diksita dan Sang Dwijati berkewajiban untuk membuat Tirtha
Pembersihan yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mempergunakan
jenis-jenis tirtha lainnya. Cara pembuatan sebagai beikut adalah berawal dari
bahan atau alat pembuat tirtha dipersiapkan terlebih dahulu dalam keadaan
bersih dan sehat terdiri atas air yang sehat yang diambil dari tempat yang
bersih, dhupa dan dhipa, asaban cendana, wija, daun alang-alang dan yang
lainnya. Selanjutnya diisi dengan wangi-wangian. Proses berikutnya adalah
menulisi air dalam Siwambha memakai tulisan dengan Am, Um, Mam disertai dengan
puja Tri Purusa Mantra dilanjutkan dengan menulis huruf Im. Perputaran air tiga
kali ini untuk menyatukan unsur-unsur Am, Um, Mam ke tengah menjadi Om dan
aliran air itu ke kanan menunjukan lambang amartha (air kehidupan)
B.
Tirtha yang didapatkan melalui jalan memohon
Jenis
tirtha yang diperoleh dengan cara memohon disebut dengan nama tirtha Wangsuhpada,
kelukuh atau banyun cokor. Tirtha Wangsuhpada juga dapat dimohon pada
tempat-tempat suci, seperti di Pura Tirtha Empul (Gianyar-Bali), di Sumber air
Gunung Semeru (Jawa Timur), dan di tempat suci lainnya.
Disumber
air Tirtha Empul, Tampaksiring (Bali) diyakini terhadap lima macam jenis tirtha
menurut penggunaannya, antara lain Tirtha Pemarisuddha, Tirtha Pangelukan,
Tirtha Suddhamala, Tirtha Tegteg dan Tirtha Banyun Cokor. Jenis-jenis tirtha
berdasarkan fungsinya dalam pelaksanaan upacara Yadnya secara umum dapat
dibedakan sebagai berikut :
·
Tirtha Pembersihan adalah tirtha yang
difungsikan untuk membersihkan dan menyucikan para umat yang akan melaksanakan
persembahyangan dan juga membersihkan serta menyucikan berbagai macam upakara
persembahan
·
Tirtha Pengelukatan adalah tirtha yang
difungsikan untuk membersihkan dan menyucikan para umat yang akan bersembahyang
dan upakara yang akan dipersembahkan agar segala kotoran dan letehnya menjadi
suci.
·
Tirtha Wangsuhpada adalah tirtha sebagai
lambang amartha yang merupakan anugrah Tuhan dan Para Dewata yang dapat dimohon
oleh umat
·
Tirtha Pemanah adalah tirtha yang yang
dimohon oleh umat pada sumber mata air, seperti campuhan yang biasanya
dipergunakan dalam rangka upacara Pitra Yadnya
·
Tirtha Panembak adalah tirtha yang
dibuat oleh sang Sulinggih, Pendeta atau Sang Dwijati yang difungsikan dalam
rangka upacara Pitra Yadnya
·
Tirtha Pangentas adalah tirta yang
dibuat oleh para Sulinggih yang difungsikan dalam rangka upacara kematian Pitra
Yadnya.
5. WIJA
atau BIJA
Bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau
air cendana. Beras yang dipakai bija diupayakan beras yang utuh atau tidak
patah (aksata). Bija atau Wija merupakan lambang Dewa Kumara, yaitu putra Dewa
Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Dewa Kumara adalah benih ke-Siwaan
maka didalam setiap diri orang yang mebija mengandung makna untuk
menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan atau ke-Dewataan di dalam diri orang.
B.
MANTRA SEMBAHYANG
Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan
pemujaan ke hadapan tuhan beserta manifestasi-Nya.
1.
Persembahyangan
Tri Sandhya
Tri Sandhya merupakan salah
satu cara persembahyangan yang ditujukan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Tri Sandhya dilakukan tiga kali setiap harinya, yaitu pagi hari, siang hari,
dan malam hari sebelum tidur. Persembahyangan dilakukan sesuai dengan waktu,
situasi dan kondisi yang ada.
Sebelum umat melakukan
melakukan persembahyangan, lahir dan batnnya harus suci. Secara lahiriah, umat
harus mandi, berpakian yang bersih dan sopan serta menyiapkan bunga, dhupa
(api), thirta (air), dan yang lainnya. Selanjutnya mulai mengadakan persiapan persembahyangan
seperti berikut ini :
a. Asana
adalah sikap badan yang baik dan sempurna. Puja mantra pengantarnya adalah
“Om Prasadasthiti carira ciwa cuci nirmalaya
namah swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, dalam wujud siwa, suci tak ternoda, hamba, telah duduk
dengan tenang.
b. Pranayama
adalah sikap pengaturan keluar masuk nafas untuk mencapai ketenangan. Puja
mantra sebagai berikut.
“Om Am
Namah”, menarik nafas(Puraka)
“Om Um
Namah”, menahan nafas(Khumbaka)
“Om Mam
Namah”, mengeluarkan nafas(Recaka)
c. Kara
Suddhaya adalah membersihkan tangan dengan air
atau bunga.
“Om Cuddhaya mam swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga disucikan tangan hamba.
“Om Ati
Cuddhaya mam swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga sangat disucikan tangan hamba.
d. Mustikarana
adalah sikap tangan terkatup (menggenggam) berbentuk kojong atau kerucut;
tangan kiri menggenggam tangan kanan. Selanjutnya, mulailah mengucapkan mantra
(Gayatri) berikut ini :
“ om
bhur bhuwah swah
Tat
sawitur warenyam
Bhargo
dewasya dhimahi
Dhiyo yo
nah pracodayat”
Artinya
:
Om, marilah kita sembahyang pada kecemerlangan dan kemahamuliaan
Sang Hyang Widhi, yang ada di dunia, di langit, di surga, semoga Ia berikan
semangat pikiran kita.
“om
narayana ewedam sarwam yad bhutam yacca bhawyam niskalanko niranjano nirwikalpo
nirakhyatah cuddho dewo eko narayanah na dwitiyo asti kaccit”
Artinya
:
Om, semua yang ada ini berasal dari Sang Hyang WIdhi, baik yyang
telah ada maupun yang aka nada, Ia bersifat niskala, sunyi, mengatasi
kegelapan, tidak dapat musnah, suci Ia hanya tunggal, tidak ada yang kedua.
“om twam
ciwah twam mahadewah
Icwarah
paramecwarah brahma wisnucca rudracca
Purusah
parikirtitah”
Artinya
:
Om, Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara,
Brahma, Wisnu, Rudra, dan Purusa.
“om papo
‘ham papakarmaham papatma papasambhawah
Trahi
mam pundarikaksa sabahyabhyantarah cusih”
Artinya
:
Om, hamba ini papa, hamba berbuat papa, diri hamba papa,
kelahiran hamba pun papa,
Lindungilah hamba ya Sang Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga
hamba.
“om
ksamaswa mam mahadewa sarwaprani hitangkara mam moca sarwa papehbyah palayaswah
sada ciwa”
Artinya
:
Om, ampunilah hamba, oh Sang Hyang Widhi, yang memberikan
keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa,
lindungialh, oh Sang Hyang Widhi.
“om
ksantawyah kayiko dosah ksantawyo waciko mama ksantawyo manaso dosah tat
pramadat ksamaswa mam “Om cantih cantih cantih om”
Artinya
:
Om, hendaknya diampuni dosa-dosa yang dilakukan dikerjakan oleh
badan hamba, hendaknya diampuni dosa-dosa yang dikerjakan oleh kata-kata hamba,
hendaknya diampuni dosa-dosa yang dikerjakan oleh pikiran hamba, ampunilah
hamba dari segala kelalaian. Om, damai, damai, damai om.
Puja Tri Sandhya merupakan
rangkuman dari enam bait mantra yang dipetik dari berbagai kitab suci Weda,
seperti bait pertama dipetik dari kitab Reg Weda dan tambahkan kata bhur,
bhuwah, dan swah dipetik dari kitab Yajur Weda Putih. Bait kedua dipetik dari
kitab Catur Weda Sirah, bait ketiga dipetik dari kitab Weda Parikrama bagian
Siwathawa, bait keempat dipetik dari kitab Weda Parikrama, dan demikian juga
bait kelima dan keenam.
2.
Muspa
atau Sembahyang dengan Panca Sembah
Setelah selesai melaksanakan
persembahyangan dengan Puja Tri Sandhya dapat dilanjutkan dengan
persembahyangan Panca Sembah. Persembahyangan ini bertujuan untuk memuja Ida
Sang Hyang Widhi Wasa berserta manifestasi-Nya guna memohon keselamatan dan
kesejahteraan di dunia. Persembahyangan ini dapat dilakukan secara bersama-sama
dengan atau tanpa dipimpin oleh para sulinggih (pendeta) dan pinandita atau
secara sendiri-sendiri. Sebelum dilakukannya Panca Sembah sebaiknya kita dalam
keadaan bersih, baik secara jasmani maupun rohani. Kita juga harus menyiapkan
sarana persembahyangan separti bunga, dhupa, dan kwangen. Adapun
tahapan-tahapan dalam persembahyangan adalah sebagai berikut :
a. Asana adalah sikap duduk dengan
baik dan sempurna, yaitu bajrasana, untuk kaum wanita dan Padmasana atau
Silasana bagi kaum pria. Dengan puja mantra sebagai berikut.
“Om
Prasadasthiti carira ciwa cuci nirmalaya namah swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, dalam wujud siwa, suci tak ternoda, hamba, telah duduk
dengan tenang.
b. Kara Suddhaya adalah membersihkan tangan
dengan air atau bunga.
“Om Cuddhaya mam swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga disucikan tangan hamba.
“Om Ati
Cuddhaya mam swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga sangat disucikan tangan hamba.
c. Berkumur adalah membersihkan mulut
dengan air dan mengucapkan puja mantra sebagai berikut.
“Om
waktra, cuddhaya mam swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga dibersihkan mulut hamba.
d. Dhupastawa adalah mengambil dhupa yang
telah dinyalakan, dipegang setinggi hulu hati dengan tangan berbentuk kojong,
dan mengucapkan japa atau mantra sebagai berikut.
“Om
agnir agnir jyotir jytir dhupam samarpayami.
Am
dipastraya namah swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, cahaya-cahaya dari api dhupa yang hamba nyalakan ini
semoga menjadi saksi damala persembahyangan hamba.
e.
Muspa
Puyung (kosong)
Merupakan
persembahyangan pembukaan, guna menenangkan pikiran dengan membayangkan Ida
Sang Hyang widhi Wasa. Persembahyangan ini didahului dengan mengasapi tangan di
atas dhupa, dengan mantra sebagai berikut
“om
cuddhaya mam swaha”
Dilanjutkan
dengan mengangkat tangan kosong yang tercakupkan ke atas ubun-ubun, mantranya,
sebagai berikut.
“om atma
tatwatma cuddhaya ma swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, yang merupakan atma dari atma tattwa, sucikanlah
hamba.
f.
Muspa
dengan bunga putih
Bunga
yang diambil diasapi di atas dhupa dengan mantra sebagai berikut.
“om
puspa dantaya namah swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, jadikanlah bunga ini suci.
Dilanjutkan
dengan mengangkat tangan yang sudah menjepit bunga, diangkat ke atas ubun-ubun,
ditujukan ke hadapan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai sinar matahari, semoga
menyinari persembahannya. Dengan puja sebagai berikut.
“om
Adityasya paramjyotir rakta tejo namo’stute,
Cweta
pankaja madhyaste bhaskaraya namo’stute”
Artinya
:
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu dalam perwujudan yang merah cemerlang
berkilauan cahaya-Mu, Engkau putih suci, bersemayam di tengah-tengah laksana
teratai, Engkaulah sumber cahaya yang hampa puja.
“om
Pranamya bhaskara dewam sarwa klesa winacanam,
Pranamyaditya
ciwartham bhukti mukti warapradam”
Artinya
:
Ya Tuhan, cahaya sumber segala sinar, hamba menyembah-Mu, agar
segala dosa dan kotoran yang ada pada jiwa hamba menjadi sirna binasa, karena
Engkau adalah sumber bhukti mukti, kesejahteraan hidup jasmani dan rohani.
“om Hram
Hrim sah parama ciwaradityaya namah swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, Paramasiwa aditya, hamba memuja-Mu.
g.
Muspa
dengan bunga atau kewangen
Bunga
atau kewangen diasapi di atas dhupa dengan mantra sebagai berikut.
“om
puspa dantaya namah swaha”
Dilanjutkan
dengan mengangkat cakupan tangan yang berisi bunga atau kewangen ke atas
ubun-ubun di tujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berstana di Padmasana
dengan mantra sebagai berikut.
“om namah
dewa adhisthanaya sarwa wyapi wai ciwaya
Padmasana
eka pratisthaya ardhanarecwaraya namo namah swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu sebagai penguasa sember sinar yang
bersinggasana paling utama, sebagai Siwa penguasa semua makhluk, sebagai
satu-satunya penagak segala yang bersemayam di Padmasana.
“om
akasa nirmalasunyam, guru dewa hyomataram,
Ciwa
nirbhawa wiryanam, reka omkara wijayam,
Om,
Paramaciwa dipata ya namah”
Artinya
:
Ya Tuhan, yang gaib laksana ether yang maha suci, asal Bapak
dari semua dewa dan semesta alam, selaku Siwa bukan ciptaan yang agung berwujud
aksara Ongkara Wijaya,
Ya Paramasiwa, hamba memuja-Mu.
h.
Muspa
dengan bunga atau kewangen
Ditujukan
ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta para Dewa penjaga Rta untuk
memohon waranugraha-Nya. Didahului dengan mengasapi bunga atau kewangen yang
sudah ada di ujung jari capukan tangan dengan puja sebagai berikut.
“om
puspa dantaya namah swaha”
Dilanjutkan
dengan mengangkat tangan ke atas ubun-ubun dengan mantra sebagai berikut.
“om Anugrahakamanoharam
dewa dattanugrahakam, hyarcanam sarwa pujanam namah sarwa nugrahakam”
Artinya
:
Ya Tuhan, limpahkanlah segala anugrah-Mu yang mengenbirakan maha
pemurah dengan segala kebahagiaan yang dicita-citakan serta dipuja-puji selalu.
“om
dewa-dewi maha siddhi, yajnanga nirmalatmaka,
Laksmi
siddhicca dirgahayuh, nirwighna sukha wrddhicca”
Artinya
:
Ya Tuhan, sumber segala pengetahuan semua dewata yang berasal
dari korban suci kasih saying-Mu, limpahkan kemakmuran, pengetahuan, umur
panjang serta keselamatan dan kebahagiaan selalu.
“om
Ghrim anugraharcanaya namo namah swaha”
“Om
Ghrim anugraha manohara ya namo namah swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu untuk kebahagiaan dan kebhaktian yang
tertinggi.
i.
Muspa
Puyung
Bertujuan
untuk menghaturkan suksma atas anugrah yang dilimpahkan kepada kita dan
sekaligus membayangkan Beliau kembali ke asalnya, mantranya sebagai berikut.
“om dewa
suksma paramachintyaya namah swaha.
Om canti
canti canti om”
Artinya
:
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu dalam wujud sinar suci yang gaib, maha
agung yang tak terpikirkan.
Semoga damai di hati, damai di dunia, damai selalu.
j.
Menerima Tirtha
Pada
saat menerima tirtha sika tangan tengadah dengan telapak tangan kanan di atas
telapak tangan kiri. Puja mantra sebagai berikut.
“om
Prathama cuddha dwitiya cuddha,
Tritya
cuddha cuddha cuddham wari astu”
Artinya
:
Ya Tuhan, pertama suci, kedua suci, ketiga suci,
Suci, suci, semoga suci dengan air ini.
k. Menerima
bija
bija
merupakan symbol bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah memberikan anugerah
kepada umatnya yang telah melaksanakan persembahyangan. Bija yang diterima
selanjutnya :
1) Ditempelkan
pada dahi
“om
Criyam bhawatu”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga kebahagiaan meliputi diri hamba.
2) Dilekatkan
pada pangkal tenggorokan
“om
Sukham Bhawantu”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga kesenangan selalu dating pada hamba.
3) Ditelan
(tidak dikunyah)
“om
purnam bhawantu”
“Om
ksama sampurnaya namah swaha”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga segala kesempurnaan meliputi hamba.
Ya Tuhan, semoga semuanya menjadi bertambah sempurna.
Apabila
persembahyangan dituntun oleh sulinggih, persembahyangan terakhir (muspa
puyung) mantra atau pujanya biasanya dilanjutkan dengan mantra sebagai berikut.
“Om ayur
vrddhir yaso vrddhih, vrddhih prajna sukha sriyam, dharma Santana vrddhih syat,
santu te sapta-vrddhayah”
“Om
yavan Merau sthito devah, yavad ganga mahitale.
Candrarkau
gagane yavat, tavad va vijayi bhavet”
“Om
dirghayur astu tathastu, “Om avighnam astu tathastu,
“Om
subham astu tathastu, “Om sukhsm bhavatu,
“Om purnam
Bhavatu, “Om sreyo bhavatu, Sapta vrddhir astu”
Artinya
:
Ya Tuhan, semoga bertambah dalam usia, bertambah dalam
kemasyuran, bertambah dalam kepandaian, kegembiraan dan kebahagiaan, bertambah
dalam dharma dan keturunnan, tujuh pertambahan semoga menjadi bagianmu.
Ya Tuhan, selama Tuhan bersemayam di gunung Meru, selama sungai
Gangga berada di dataran bumi, selama matahari dan bulan berada di langit,
selama itu semoga seseorang mendapat kejayaan.
Ya Tuhan, semoga panjang umur, semoga demikian,
Ya Tuhan, semoga tiada rintangan, semoga demikian,
Ya Tuhan, semoga baik, semoga demikian,
Ya Tuhan, semoga bahagia,
Ya Tuhan, semoga sempurna,
Ya Tuhan, semoga rahayu,
Semoga tujuh pertambahan terwujud.
3.
Kramaning
Sembah
Kramaning sembah adalah tata cara persembahyangan demi keseragaman
dan kemantapan dalam usaha mendekatkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Kramaning sembah merupakan pedoman tentang tata cara melaksanakan
persembahyangan.
Berdasarkan Keputusan Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indnesia tanggal 2
Maret 1990 ditetapkan tata cara persembahyangan sebagai berikut.
a. Persiapan
sembahyang
Sebelum
peersembahyangan dilaksanakan, hendaknya umat memerhatikan dan melaksanakan
serta mempersiapkan hal-hal sebagai berikut.
·
Asuci laksana, yaitu membersihkan diri lahir
batin.
·
Pakaian, yaitu berpakaian sembahyang yang
bersih dan rapi.
·
Mempersiapkan bunga, dhupa, dan bersikap duduk
yang baik.
b. Pelaksanaan
sembahyang
Pelaksanaan
sembahyangan ditentukan dengan urutan-urutan sebagai berikut.
·
Muspa puyung dengan mencakupkan tangan di atas
ubun-ubun.
·
MenyembahSang
Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Hyang Aditya.
·
Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari
dan tempat persembahyangan (pura-pura tertentu), Pura Dalem, Puseh, Bale Agung
atau Desa, dan lain sebagainya.
·
Menyembah Tuhan sebagai pemberi anugerah.
·
Sembah atau muspa puyung.
c. Mohon
tirtha dan bija
Setelah
persembahyangan dilaksanakan dilanjutkan dengan mohon tirtha dan bija. Setelah
itu dilanjutkan dengan persembahyangan untuk memohon anugerah-Nya dan
seterusnya. Berikutnya ini adalah kutipan mantra atau puja untuk pura
pelinggih-pelinggih tertentu, antara lain.
1) Mantra
untuk di Pura Desa atau Bale Agung,
sebagai berikut.
“Om,
Isano sarwa widnyana, Iswara sarwa bhutanam,
Brahmano
dhipati Brahman, Ciwastu sada ciwaya,
Om, Ciwa
dipataya namah”
Artinya
:
Ya Tuhan, yang tunggal maha besar, selaku yang maha kuasa,
menguasai semua makhluk, selaku Brahma raja dari para Brahman selaku Siwa dan
Sadasiwa.
Ya, Hyang Siwa, hamba menyembah padamu.
2) Mantra
untuk di Pura Puseh, sebegai berikut.
“Om,
Giripati maha wiryam, mahadewa prathista lingam, sarwa dewa pranayanam, sarwa
jagat prathistanam, Om, Giripati dipata ya namah”
Artinya
:
Ya Tuhan, selaku Giripati yang maha agung, maha dewa dengan
wujud lingga yang mantap, semua dewa tunduk padamu,
Om Giripati, hamba menyambutmu.
3) Mantra
untuk di Pura Dalem, sebagai berikut.
“Om,
Catur dewi mahadewi, catur asrama bhatari,
Ciwa
jagat pati dewa, Dhurga masarira dewi,
Om,
Catur dewi dipataya namah”
Artinya
:
Ya Tuhan, saktimu beerwujud Catur dewi, yang dipuja oleh catur
asrama, sakti dan Siwa, Raja semesta alam, dalam wujud Dewi Dhurga,
Ya Catur dewi, hamba menyembah ke bawah kakimu.
4) Mantra
untuk pemujaan di Pura Leluhur, seperti Kemulan, Paibon, Dadia, Pedharman
sebagai berikut.
“Om
Brahma wisnu iswara dewam, jiwatmanam trilokanam, sarwa jagat prathistanam,
sudha klesa winasanam,
Om, Guru
paduka dipatya namah”
Artinya
:
Ya, Tuhan selaku Brahma, Wisnu, Iswara, yang berkenan turun
menjiwai isi triloka, semoga seluruh jagat tersucikan, bersih serta segala noda
terhapuslah oleh-Mu. Ya Tuhan, selaku Bapak alam, hamba memuja-Mu.
5) Mantra
untuk pemujaan di Pura Segara dan penyawangan-Nya, mantra sebagai berikut.
“Om,
Nagendra krura murttinam, Gajendra matsya waktranam,
Bruna
dewa masariram, sarwa jagat suddhatmakam”
Artinya
:
Ya Tuhan, sebagai Maharaja dari para naga yang hebat, raja gajah
mina agung berwujud selaku dewa Baruna, penyuci daripada jiwa segala makhluk
dalam alam ini.
6) Mantra
untuk pemujaan di Pura Batur, Ulun Suwi, Pura Danu, Pengulu Carik, dan
sebagainya, adalah sebagai berikut.
“Om, Cri
dewi kebhawyam, sarwa rupa watitasya,
Sarwa
jnaka mitidatyam, cri cri dewi namastute”
Artinya
:
Ya Tuhan, sakti-Mu selaku dewi Sri yang maha dermawan dan mulia
yang menganugrahkan kemakmuran bagi semua makhluk
Ya Dewi Sri, kami memuja-Mu.
7) Mantra
untukk pemujaan pada hari Saraswati, sebagai berikut.
“Om,
Brahma putrid maha dewi, brahmannya brahma wandini,
Saraswatisa
ya jnam, prajnana ya Saraswati”
Artinya
:
Ya Tuhan, sebagai sakti dari Brahma yang berwajah sangat cantik,
yang disebut dewi yang maha agung, Tuhan yyang menjadi jiwa murni, diberi gelar Saraswati yang indah, yang mengatur batin semua makhluk,
yang mengatur batin semua makhluk, yang maha mengetahui, disebut Saraswati.
“Om, Saraswati
namostubhyam, waradi kama rupini,
Siddhir
asthma karoksami, siddhir bhawantume sadham”
Artinya
:
Ya Tuhan, yang selalu dipuja yang bergelar Saraswati, yang
berwajah cantik indah berkuasa mempengaruhi kami semua, selalu berkuasa kepada
semua dunia.
“Om Sang
Saraswati cweta warna ya i namah swaha,
Om Bang
Saraswati rakta warna ya i namah swaha,
Om Tang
Saraswati pita warna ya i namah swaha,
Om Ang
Saraswati krsna warna ya i namah swaha,
Om Om
Ing Saraswati wicwa warna ya i namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, demikianlah pujaanku ke hadapan Saraswati yang
berwarna putih, berwarna merah, berwarna kuning, berwarna hitam, dan Saraswati
yang memiliki serba warna, hamba-Mu selalu memuja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar