Selasa, 17 Januari 2012

Yadnya


A. Sarana Sembahyang
       Pelaksanaan persembahyangan memerlukan sarana untuk sembahyang sebab tanpa sarana seseorang akan mengalami kesulitan untuk mewujudkannya. Sarana sembahyang itu diklasifikasikan menjadi 2 bagian pokok, yaitu sarana yang tidak berwujud benda atau nonmetri, seperti keyakinan atau kepercayaan (Sraddha) dan mantra atau puja, dan sarana yang berwujud benda seperti daun, bunga, dan buah, api atau dupa.
1.     BUNGA
Bunga berfungsi sebagai symbol Tuhan (Siwa). Bunga berfungsi sebagai sarana persembahan sehingga bunga di pakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan di persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewata, bhatara-bhatari dan roh suci leluhur. Bunga adalah salah satu unsur sarana persembahyangan yang digunakan oleh umat Hindu untuk memuja kehadapan Tuhan.
Dengan sarana pokok seperti daun, bunga dan buah tersebut, dibuatlah satu bentuk persembahyangan, seperti canang, kwangen, bhasma dan bija, serta api dan air. Apabila kita mau memahaminya, semua sarana persembahyangan memiliki arti dan makna yang sangat dalam dan merupakan perwujudan dari tattwa agama Hindu.

A.    Canang
Kata canang berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada mulanya, berarti sirih yang disuguhkan kepada para tamu yang sangat di hormati. Kebiasaan makan sirih ini merupakan tradisi yang sangat terhormat. Jadi, sirih merupakan sarang yang benar-benar memiliki suatu nilai yang sangat tinggi. Sririh merupakan symbol kehormatan. Sirih merupakan unsure pokok atau dasar dari porosan, sedangkan porosan merupakan unsure terpenting dari canang. Apabila kita mengamati sebuah canang, hal yang paling dasar yang pelu kita lihat adalah sebuah ceper diatasnya daun. Diatas daun tertata  porosan, tebu, pisang dan kekiping.berdasarkan pengamatan itu, kita ketahui unsur-unsur pokok dari canang adalah sebagai berikut :
1.      Porosan
Porosan merupakan unsure sarana pokok dalam canang. Porosan dibuat dari sarana sirih, kapur, dan buah yang dijepit atau dibungkus dengan bentuk lancip dari potongan janur. Lontar Yadnya Prakerti menyebutkan bahwa porosan adalah lambing untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai sang Tri Murti.
2.      Plawa
Plawa disebut juga daun-daunan. Berdasarkan penjelasan Lontar Yadnya Prakerti, Plawa melambangkan tumbuhnya pkiran yang hening dan suci. Fungsinya sebagai Sang Tri Murti hendaknya berusaha menumbukan pikiran yang suci dan hening.
3.      Bunga
Bunga yang terdapat dalam canang melambangkan keikhlasan. Memuja Tuhan Yang Maha Esa hendaknya dengan berlandaskan ketulusikhlaskan. Apabila segala sesuatu yang kita tidak terjadi dalam hidup dan kehidupan ini dan semuanya terjadi secara alami, hendaknya kita mengikhlaskannya.
4.      Tetuwasan, Reringgitan, Jejahitan
Tetuwasan, reringgitan dan jejahitan merupakan lambing keteguhan atau kelanggengan umat manusia. Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap di pertahankan. Pikiran yang teguh dan langgeng tetap dibutuhkan dan menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan.
5.      Urassari
Urassari merupakan salah satu dari bagian unsur-unsur canang yang dibuat dan dipersembahkan oleh umat Hindu kehadapan Tuhan. Urassari dibaut dari garis silang yang menyerupai tampak dara, yaitu sebagai bentuk sederhana dari Swastika. Urassari yang tersusun dengan jejahitan, tetuwasan, dan reringgitan tertata sedemikian rupa menjadi bentuk lingkarang yang menyerupai bentuk Padma Astadala. Berdasrkan ajaran agama Hindu, alam semesta ini tercipta oleh Tuhan melalui tiga proses, antara lain, pertama Srati adalah proses penciptaan alam semesta. Kedua Swastika adalah proses ketika alam mencapai puncak keseimbangan yang bersifat dinamis. Ketiga Pralaya, adalah proses alam semesta melebur kembali menuju asalnya, yaitu Tuhan yang Maha Esa sebagai penciptanya.

Demikianlah canang mengandung makna :
·         Sebagai lambing perjuangan hidup manusia
·         Sebagai lambing menumbuhkan keteguhan, kelanggengan, dan kesucian pikiran manusia
·         Sebagai lambing suatu usaha umat manusia untuk menvisualisasikan ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang dapat memberikan keterangan tentang arti dan makna hidup ini.
2.      KWANGEN
Fungsi kwangen ialah untuk mengharumkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kwangen dibuat dari daun pisang yang berbentuk kojong dan dilengkapi dengan plawa, dua potong daun sirih yang di lengkapi dengan buah pinang dan kapur digulung menjadi satu, dua kepeng uang bolong, hiasan pucaknya berupa reringgitan berupa cili, dan dilengkapi dengan bunga. Kwangen ialah lambing perwujudan Omkara. Omkara sebagai Ekasksara meruapak lambang Tuhan Yang Maha Esa. Dari segi bentuknya Omkara dibagi menjadi 3 bagian yaitu, atas = Nada, tengah = windu, dan bawah = Ardacandra. Dalam bentuknya kwangen, pada bagian bawah yang lancip = Ardacandra, uang kepeng yang bulat = Windu, dan sampian yang berbentuk cili, bunga dan plawa = Nada, porosan silih asih sebagai lambing purusa dan pradana.
3.    
  API, DHUPA dan DHIPA
Dalam pelaksanaan upacara persembahyangan, api diwujudkan dengan dhupa dan dhipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berasap sehingga mengeluarkan bau yang harum, sedangkan dhipa adalah peduapaan atau api yang diguanakan untuk memuja oleh para sulinggih. Api (dhupa dan dhipa) memiliki sifat sebagai penerangan yang memberikan penerangan dari berbagai macam kegelapan. Dalam ajaran agama Hindu kata api juga disebut apuy, agni atau wahni. Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki fungsi sebagai pencipta semua yang ada ini disebut Dewa Brahma. Untuk memohon kesucian dalam melaksanakan persembahyangan, umat Hindu juga memfungsikan api sebagai sarananya. Berikut fungsi api menurut ajaran agama hindu :
a.      Api Berfungsi Sebagai Saksi saat Umat Hindu Melaksanakan Upacara Agama
Di dalam pelaksanaan upacara pesembahyangan, bentuk api dilambangkan sebagai saksi upacara. Dhupa dan dhipa dipandang sebagai pendeta pemimpin upacara yang difungsikan sebagai saksi dalam pelaksanaan upacara. Api dhupa adalah lambang api saksi. Api dhupa atau asap merupakan angga sarira Sang Hyang Agni. Sinar dari api itulah yang menerangi alam semesta beserta isinya. Dalam keadaan yang seperti itu, Sang Hyang Agni merupakan saksi yang Maha Melihat segala aktivitas yang dilakukan oleh umat manusia.
Seluruh kehidupan di dunia ini juga disaksikan oleh api yang maha besar yang merupakan sumber dari segala sumber api, yaitu matahari. Dalam sastra Siwagama, umat Hindu menemukan konsep dasar tentang persembahan Sanggar Surya dalam pelaksanaan upacara Panca Yadnya. Sanggar Surya merupakan tempat memuja Siwa Raditya sebagai saksi agung kehidupan di dunia ini. Tujuan pemujaan yang dilaksanakan ke hadapan Siwa Raditya adalah untuk memohon persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Siwa Raditya.
b.      Api sebagai Pendeta Pemimpin Upacara
Pendeta adalah sulinggih atau orang suci menurut ajaran agama Hindu beliau telah melalui proses upacara diksa atau penyucian yang secara simbolis telah amati raga, amati aran, amati wasa, dan amati sesana, yaitu meninggalkan badan wadah, meninggalkan namanya semula, mengganti atribut dan mengubah tingkah lakunya dengan lahir kembali mewakili Tuhan menjadi pemimpin umat untuk dapat kembali ke asalnya. Pelaksanaan uapaca keagamaan biasanya dipimpin oleh sang sulinggih yang disebut juga pendeta dan pemangku atau pinandita. Ketiga pendeta ini masing-masing memiliki senjata agni. Dari senjata agni yang dipakai oleh para Pendeta ini dalam memimpin upacara dapat dinyatakan beliau ialah sebagai saksi dari yadnya yang dipersembahkan oleh umat Hindu.
c.       Api sebagai Perantara Pemuja dengan yang Dipuja
Untuk para pemuja yang telah memiliki tingkat kemampuan sangat tinggi (Wijnana dan Jnananya) dalam memuja Tuhan, penggunaan sarana api tidaklah dipandang penting. Biasanya, mereka sudah mampu mengaktifkan atau menghidupkan api yang ada pada dirinya sendiri. Disamping disebutkan api, matahari juga merupakan sarana bagi kita untuk melaksanakan yadnya. Matahari merupakan sumber dari segala sumber api yang ada di alam semesta ini. Demikian juga dapat kita lihat pada saat umat Hindu sembahyang mengarah pada matahari. Hal ini menggunakan matahari sebagai perantara untuk memuja Tuhan beserta berbagai macam manifestasi-Nya. Tanpa sinar matahari, dunia ini pun akan gelap dan membeku adanya. Ini berarti Tuhan telah beryadnya kepada manusia dengan menciptakan matahari. Jadi, konsekuensinya manusia pun hendaknya melaksanakan yadnya kepada Tuhan dengan perantara matahari (api) yang diciptakn-Nya. Hal ini bukan berarti umat Hindu menyembah matahari atau api, melainkan matahari dan api hanyalah sarana untuk melakukan pemujaan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
d.      Api Berfungsi sebagai Pembasmi Segala Kotoran dan Pengusir Roh Jahat
Umat Tuhan beserta manifestasi-Nya dalam persembahyangan hendaknya dalam keadaan bersih dan suci secara lahir dan batin. Pikiran, perkataan, dan prilaku yang ditampilkan oleh jasmani umat dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, hendaknya dalam keadaan bersih atau suci. Dengan demikian, ketenangan dalam bersembahyang akan dapat diwujudkan. Dalam persembahyangan sangat diperlukan kebersihan atau kesucian lahir dan batin seseorang yang akan bersembahyang. Tindakan awal yang wajib dilakukan adalah memperagakandhupa yang sudah menyala, dipegang setinggi ulu hati disertai dengan mantra. Dengan demikian, kotoran yang masih melekat pada bunga tersebut dapat dibasmi oleh api dhupa tersebut. Umat pun dapat dengan tenang, hening, bersih dan suci untuk menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa. Fungsi api sebagai pembasmi atau penumpas musuh yang dilindungi oleh roh jahat, melenyapkan kesedihan dan menyucikan upacara yadnya adalah sebagai berikut :
            “Ghratahawana didiwah pratisma risato daha agni twam rasaswinah
(Reg Weda, I.4.12.5)
            Yang artinya :
            Oh, Agni yang bercahaya, kepada-Mu minyak suci disiapkan menyala, menumpas musuh yang dilindungi oleh setan (roh jahat).
            “Kawimagnimupa sthuti satya dharmanemadrwara dewami wiacatanam
(Reg Weda, I.1.4.12.7)
            Yang artinya :
            Agni kami puja Engkau dalam yajna, pendeta yang selalu berbuat benar, dewa yang melenyapkan kesedihan.
            “Sanah pawake didiwo ‘gne dewam iha waha upayajnam hawiscanah
(Reg Weda, I.1.4.12.10)
            Yang artinya :
            Bawalah yang demikian itu kepada persembahan yadnya kami, Agni menyucikan, undanglah dewa-dewa pada persembahan kami.

            Apabila kita perhatikan syair-syair kita tersebut diatas dengan jelas dapat disimpulkan bahwa api sebagai wujud Dewa Agni memiliki fungsi untuk menumpas atau mengusir (menetralisir) kekuatan-kekuatan roh jahat dalam kehidupan ini. Disamping itu juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyucikan hati umat manusia dan menyucikan segala upakara yadnya yang dinodai oleh kotoran. Api dalam kehidupan manusia dapat dipergunakan sebagai lambang yang baik dan juga sebagai lambang yang tidak baik. Kitab suci Bhagawadgita mengklasifikasikan jiwa manusia yang suci disebut daiwi sampad dan jiwanya yang kotor disebut dengan asuri sampad. Kitab Bhagawadgita menjelaskan bagaimana api jiwatman manusia dapat dibangkitkan dengan yoga untuk memadamkan api indria, guna menyucikan jiwatmanya dari pengaruh buruk nafsu-nafsu duniawi.
4.      AIR (TIRTHA)
Air merupakan kebutuhan hidup yang sangat utama. Air bukan hanya  diperlukan oleh umat manusia dalam hidup dan kehidupan ini, tetapi juga sangat diperlukan oleh mahluk lainnya. Dalam hubungannya dengan kehidupan beragama, air dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut :
a.       Air dalam artian jasmani adalah air yang dapat dikonsumsi setiap hari untuk kepentingan mandi, mencuci dan memasak.
b.      Air dalam artian rohani adalah air untuk menyucikan lahir dan batin umat manusia yang disebut tirtha atau air suci. Menurut ajaran agama Hindu, tirtha memiliki fungsi sebagai sarana untuk membersihkan dan menyucikan lahir dan batin umat manusia dari kotoran atau kecemaran atau leleh. Cara penggunaannya adalah dipercikan di kepala, diminum dan raupkan pada muka masing-masing tiga kali.
Dalam pelaksanaa persembahyangan dari awal persiapan sampai akhir pelaksanaannya, umat mendaptkan 2 macam tirtha.
·         Pertama adalah sebelum persembahyangan dimulai umat dan upakara yang akan dipersembahkan ke hadapan para dewata sebagai manifestasi Tuhan terlebih dahulu diperciki Tirtha Pembersihan.
·         Kedua adalah setelah umat melaksanakan persembahyangan barulah mendapatkan Tirtha Wangsuhpada dari para dewata yang dipujanya.
A.    Tirtha yang dibuat oleh Sulinggih
Para sulinggih, Sang Diksita dan Sang Dwijati berkewajiban untuk membuat Tirtha Pembersihan yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mempergunakan jenis-jenis tirtha lainnya. Cara pembuatan sebagai beikut adalah berawal dari bahan atau alat pembuat tirtha dipersiapkan terlebih dahulu dalam keadaan bersih dan sehat terdiri atas air yang sehat yang diambil dari tempat yang bersih, dhupa dan dhipa, asaban cendana, wija, daun alang-alang dan yang lainnya. Selanjutnya diisi dengan wangi-wangian. Proses berikutnya adalah menulisi air dalam Siwambha memakai tulisan dengan Am, Um, Mam disertai dengan puja Tri Purusa Mantra dilanjutkan dengan menulis huruf Im. Perputaran air tiga kali ini untuk menyatukan unsur-unsur Am, Um, Mam ke tengah menjadi Om dan aliran air itu ke kanan menunjukan lambang amartha (air kehidupan)
B.     Tirtha yang didapatkan melalui jalan memohon
Jenis tirtha yang diperoleh dengan cara memohon disebut dengan nama tirtha Wangsuhpada, kelukuh atau banyun cokor. Tirtha Wangsuhpada juga dapat dimohon pada tempat-tempat suci, seperti di Pura Tirtha Empul (Gianyar-Bali), di Sumber air Gunung Semeru (Jawa Timur), dan di tempat suci lainnya.
Disumber air Tirtha Empul, Tampaksiring (Bali) diyakini terhadap lima macam jenis tirtha menurut penggunaannya, antara lain Tirtha Pemarisuddha, Tirtha Pangelukan, Tirtha Suddhamala, Tirtha Tegteg dan Tirtha Banyun Cokor. Jenis-jenis tirtha berdasarkan fungsinya dalam pelaksanaan upacara Yadnya secara umum dapat dibedakan sebagai berikut :
·         Tirtha Pembersihan adalah tirtha yang difungsikan untuk membersihkan dan menyucikan para umat yang akan melaksanakan persembahyangan dan juga membersihkan serta menyucikan berbagai macam upakara persembahan
·         Tirtha Pengelukatan adalah tirtha yang difungsikan untuk membersihkan dan menyucikan para umat yang akan bersembahyang dan upakara yang akan dipersembahkan agar segala kotoran dan letehnya menjadi suci.
·         Tirtha Wangsuhpada adalah tirtha sebagai lambang amartha yang merupakan anugrah Tuhan dan Para Dewata yang dapat dimohon oleh umat
·         Tirtha Pemanah adalah tirtha yang yang dimohon oleh umat pada sumber mata air, seperti campuhan yang biasanya dipergunakan dalam rangka upacara Pitra Yadnya
·         Tirtha Panembak adalah tirtha yang dibuat oleh sang Sulinggih, Pendeta atau Sang Dwijati yang difungsikan dalam rangka upacara Pitra Yadnya
·         Tirtha Pangentas adalah tirta yang dibuat oleh para Sulinggih yang difungsikan dalam rangka upacara kematian Pitra Yadnya.
5.      WIJA atau BIJA
Bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Beras yang dipakai bija diupayakan beras yang utuh atau tidak patah (aksata). Bija atau Wija merupakan lambang Dewa Kumara, yaitu putra Dewa Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Dewa Kumara adalah benih ke-Siwaan maka didalam setiap diri orang yang mebija mengandung makna untuk menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan atau ke-Dewataan di dalam diri orang.


B.           MANTRA SEMBAHYANG
      Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan pemujaan ke hadapan tuhan beserta manifestasi-Nya.
1.     Persembahyangan Tri Sandhya
Tri Sandhya merupakan salah satu cara persembahyangan yang ditujukan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tri Sandhya dilakukan tiga kali setiap harinya, yaitu pagi hari, siang hari, dan malam hari sebelum tidur. Persembahyangan dilakukan sesuai dengan waktu, situasi dan kondisi yang ada.
Sebelum umat melakukan melakukan persembahyangan, lahir dan batnnya harus suci. Secara lahiriah, umat harus mandi, berpakian yang bersih dan sopan serta menyiapkan bunga, dhupa (api), thirta (air), dan yang lainnya. Selanjutnya mulai mengadakan persiapan persembahyangan seperti berikut ini :
a.       Asana adalah sikap badan yang baik dan sempurna. Puja mantra pengantarnya adalah
 “Om Prasadasthiti carira ciwa cuci nirmalaya namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, dalam wujud siwa, suci tak ternoda, hamba, telah duduk dengan tenang.
b.      Pranayama adalah sikap pengaturan keluar masuk nafas untuk mencapai ketenangan. Puja mantra sebagai berikut.
“Om Am Namah”, menarik nafas(Puraka)
“Om Um Namah”, menahan nafas(Khumbaka)
“Om Mam Namah”, mengeluarkan nafas(Recaka)
c.       Kara Suddhaya adalah membersihkan tangan dengan air  atau bunga.
“Om Cuddhaya mam swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga disucikan tangan hamba.
“Om Ati Cuddhaya mam swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga sangat disucikan tangan hamba.
d.      Mustikarana adalah sikap tangan terkatup (menggenggam) berbentuk kojong atau kerucut; tangan kiri menggenggam tangan kanan. Selanjutnya, mulailah mengucapkan mantra (Gayatri) berikut ini :
“ om bhur bhuwah swah
Tat sawitur warenyam
Bhargo dewasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodayat”
Artinya :
Om, marilah kita sembahyang pada kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi, yang ada di dunia, di langit, di surga, semoga Ia berikan semangat pikiran kita.
“om narayana ewedam sarwam yad bhutam yacca bhawyam niskalanko niranjano nirwikalpo nirakhyatah cuddho dewo eko narayanah na dwitiyo asti kaccit”
Artinya :
Om, semua yang ada ini berasal dari Sang Hyang WIdhi, baik yyang telah ada maupun yang aka nada, Ia bersifat niskala, sunyi, mengatasi kegelapan, tidak dapat musnah, suci Ia hanya tunggal, tidak ada yang kedua.

“om twam ciwah twam mahadewah
Icwarah paramecwarah brahma wisnucca rudracca
Purusah parikirtitah”
Artinya :
Om, Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra, dan Purusa.

“om papo ‘ham papakarmaham papatma papasambhawah
Trahi mam pundarikaksa sabahyabhyantarah cusih”
Artinya :
Om, hamba ini papa, hamba berbuat papa, diri hamba papa, kelahiran hamba pun papa,
Lindungilah hamba ya Sang Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba.

“om ksamaswa mam mahadewa sarwaprani hitangkara mam moca sarwa papehbyah palayaswah sada ciwa”
Artinya :
Om, ampunilah hamba, oh Sang Hyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungialh, oh Sang Hyang Widhi.

“om ksantawyah kayiko dosah ksantawyo waciko mama ksantawyo manaso dosah tat pramadat ksamaswa mam “Om cantih cantih cantih om”
Artinya :
Om, hendaknya diampuni dosa-dosa yang dilakukan dikerjakan oleh badan hamba, hendaknya diampuni dosa-dosa yang dikerjakan oleh kata-kata hamba, hendaknya diampuni dosa-dosa yang dikerjakan oleh pikiran hamba, ampunilah hamba dari segala kelalaian. Om, damai, damai, damai om.
Puja Tri Sandhya merupakan rangkuman dari enam bait mantra yang dipetik dari berbagai kitab suci Weda, seperti bait pertama dipetik dari kitab Reg Weda dan tambahkan kata bhur, bhuwah, dan swah dipetik dari kitab Yajur Weda Putih. Bait kedua dipetik dari kitab Catur Weda Sirah, bait ketiga dipetik dari kitab Weda Parikrama bagian Siwathawa, bait keempat dipetik dari kitab Weda Parikrama, dan demikian juga bait kelima dan keenam.


2.     Muspa atau Sembahyang dengan Panca Sembah
Setelah selesai melaksanakan persembahyangan dengan Puja Tri Sandhya dapat dilanjutkan dengan persembahyangan Panca Sembah. Persembahyangan ini bertujuan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa berserta manifestasi-Nya guna memohon keselamatan dan kesejahteraan di dunia. Persembahyangan ini dapat dilakukan secara bersama-sama dengan atau tanpa dipimpin oleh para sulinggih (pendeta) dan pinandita atau secara sendiri-sendiri. Sebelum dilakukannya Panca Sembah sebaiknya kita dalam keadaan bersih, baik secara jasmani maupun rohani. Kita juga harus menyiapkan sarana persembahyangan separti bunga, dhupa, dan kwangen. Adapun tahapan-tahapan dalam persembahyangan adalah sebagai berikut :
a.       Asana adalah sikap duduk dengan baik dan sempurna, yaitu bajrasana, untuk kaum wanita dan Padmasana atau Silasana bagi kaum pria. Dengan puja mantra sebagai berikut.
“Om Prasadasthiti carira ciwa cuci nirmalaya namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, dalam wujud siwa, suci tak ternoda, hamba, telah duduk dengan tenang.

b.      Kara Suddhaya adalah membersihkan tangan dengan air  atau bunga.
“Om Cuddhaya mam swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga disucikan tangan hamba.
“Om Ati Cuddhaya mam swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga sangat disucikan tangan hamba.

c.       Berkumur adalah membersihkan mulut dengan air dan mengucapkan puja mantra sebagai berikut.
“Om waktra, cuddhaya mam swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga dibersihkan mulut hamba.

d.      Dhupastawa adalah mengambil dhupa yang telah dinyalakan, dipegang setinggi hulu hati dengan tangan berbentuk kojong, dan mengucapkan japa atau mantra sebagai berikut.
“Om agnir agnir jyotir jytir dhupam samarpayami.
Am dipastraya namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, cahaya-cahaya dari api dhupa yang hamba nyalakan ini semoga menjadi saksi damala persembahyangan hamba.

e.       Muspa Puyung (kosong)
Merupakan persembahyangan pembukaan, guna menenangkan pikiran dengan membayangkan Ida Sang Hyang widhi Wasa. Persembahyangan ini didahului dengan mengasapi tangan di atas dhupa, dengan mantra sebagai berikut
“om cuddhaya mam swaha”
Dilanjutkan dengan mengangkat tangan kosong yang tercakupkan ke atas ubun-ubun, mantranya, sebagai berikut.
“om atma tatwatma cuddhaya ma swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, yang merupakan atma dari atma tattwa, sucikanlah hamba.

f.       Muspa dengan bunga putih
Bunga yang diambil diasapi di atas dhupa dengan mantra sebagai berikut.
“om puspa dantaya namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, jadikanlah bunga ini suci.
Dilanjutkan dengan mengangkat tangan yang sudah menjepit bunga, diangkat ke atas ubun-ubun, ditujukan ke hadapan Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai sinar matahari, semoga menyinari persembahannya. Dengan puja sebagai berikut.
“om Adityasya paramjyotir rakta tejo namo’stute,
Cweta pankaja madhyaste bhaskaraya namo’stute”
Artinya :
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu dalam perwujudan yang merah cemerlang berkilauan cahaya-Mu, Engkau putih suci, bersemayam di tengah-tengah laksana teratai, Engkaulah sumber cahaya yang hampa puja.
“om Pranamya bhaskara dewam sarwa klesa winacanam,
Pranamyaditya ciwartham bhukti mukti warapradam”
Artinya :
Ya Tuhan, cahaya sumber segala sinar, hamba menyembah-Mu, agar segala dosa dan kotoran yang ada pada jiwa hamba menjadi sirna binasa, karena Engkau adalah sumber bhukti mukti, kesejahteraan hidup jasmani dan rohani.
“om Hram Hrim sah parama ciwaradityaya namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, Paramasiwa aditya, hamba memuja-Mu.

g.      Muspa dengan bunga atau kewangen
Bunga atau kewangen diasapi di atas dhupa dengan mantra sebagai berikut.
“om puspa dantaya namah swaha”
Dilanjutkan dengan mengangkat cakupan tangan yang berisi bunga atau kewangen ke atas ubun-ubun di tujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berstana di Padmasana dengan mantra sebagai berikut.
“om namah dewa adhisthanaya sarwa wyapi wai ciwaya
Padmasana eka pratisthaya ardhanarecwaraya namo namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu sebagai penguasa sember sinar yang bersinggasana paling utama, sebagai Siwa penguasa semua makhluk, sebagai satu-satunya penagak segala yang bersemayam di Padmasana.
“om akasa nirmalasunyam, guru dewa hyomataram,
Ciwa nirbhawa wiryanam, reka omkara wijayam,
Om, Paramaciwa dipata ya namah”
Artinya :
Ya Tuhan, yang gaib laksana ether yang maha suci, asal Bapak dari semua dewa dan semesta alam, selaku Siwa bukan ciptaan yang agung berwujud aksara Ongkara Wijaya,
Ya Paramasiwa, hamba memuja-Mu.

h.      Muspa dengan bunga atau kewangen
Ditujukan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta para Dewa penjaga Rta untuk memohon waranugraha-Nya. Didahului dengan mengasapi bunga atau kewangen yang sudah ada di ujung jari capukan tangan dengan puja sebagai berikut.
“om puspa dantaya namah swaha”
Dilanjutkan dengan mengangkat tangan ke atas ubun-ubun dengan mantra sebagai berikut.
“om Anugrahakamanoharam dewa dattanugrahakam, hyarcanam sarwa pujanam namah sarwa nugrahakam”
Artinya :
Ya Tuhan, limpahkanlah segala anugrah-Mu yang mengenbirakan maha pemurah dengan segala kebahagiaan yang dicita-citakan serta dipuja-puji selalu.
“om dewa-dewi maha siddhi, yajnanga nirmalatmaka,
Laksmi siddhicca dirgahayuh, nirwighna sukha wrddhicca”
Artinya :
Ya Tuhan, sumber segala pengetahuan semua dewata yang berasal dari korban suci kasih saying-Mu, limpahkan kemakmuran, pengetahuan, umur panjang serta keselamatan dan kebahagiaan selalu.
“om Ghrim anugraharcanaya namo namah swaha”
“Om Ghrim anugraha manohara ya namo namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu untuk kebahagiaan dan kebhaktian yang tertinggi.

i.        Muspa Puyung
Bertujuan untuk menghaturkan suksma atas anugrah yang dilimpahkan kepada kita dan sekaligus membayangkan Beliau kembali ke asalnya, mantranya sebagai berikut.
“om dewa suksma paramachintyaya namah swaha.
Om canti canti canti om”
Artinya :
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu dalam wujud sinar suci yang gaib, maha agung yang tak terpikirkan.
Semoga damai di hati, damai di dunia, damai selalu.
j.        Menerima Tirtha
Pada saat menerima tirtha sika tangan tengadah dengan telapak tangan kanan di atas telapak tangan kiri. Puja mantra sebagai berikut.
“om Prathama cuddha dwitiya cuddha,
Tritya cuddha cuddha cuddham wari astu”
Artinya :
Ya Tuhan, pertama suci, kedua suci, ketiga suci,
Suci, suci, semoga suci dengan air ini.

k.      Menerima bija
bija merupakan symbol bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa telah memberikan anugerah kepada umatnya yang telah melaksanakan persembahyangan. Bija yang diterima selanjutnya :
1)      Ditempelkan pada dahi
“om Criyam bhawatu”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga kebahagiaan meliputi diri hamba.
2)      Dilekatkan pada pangkal tenggorokan
“om Sukham Bhawantu”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga kesenangan selalu dating pada hamba.
3)      Ditelan (tidak dikunyah)
“om purnam bhawantu”
“Om ksama sampurnaya namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga segala kesempurnaan meliputi hamba.
Ya Tuhan, semoga semuanya menjadi bertambah sempurna.

Apabila persembahyangan dituntun oleh sulinggih, persembahyangan terakhir (muspa puyung) mantra atau pujanya biasanya dilanjutkan dengan mantra sebagai berikut.
“Om ayur vrddhir yaso vrddhih, vrddhih prajna sukha sriyam, dharma Santana vrddhih syat, santu te sapta-vrddhayah”
“Om yavan Merau sthito devah, yavad ganga mahitale.
Candrarkau gagane yavat, tavad va vijayi bhavet”
“Om dirghayur astu tathastu, “Om avighnam astu tathastu,
“Om subham astu tathastu, “Om sukhsm bhavatu,
“Om purnam Bhavatu, “Om sreyo bhavatu, Sapta vrddhir astu”
Artinya :
Ya Tuhan, semoga bertambah dalam usia, bertambah dalam kemasyuran, bertambah dalam kepandaian, kegembiraan dan kebahagiaan, bertambah dalam dharma dan keturunnan, tujuh pertambahan semoga menjadi bagianmu.
Ya Tuhan, selama Tuhan bersemayam di gunung Meru, selama sungai Gangga berada di dataran bumi, selama matahari dan bulan berada di langit, selama itu semoga seseorang mendapat kejayaan.
Ya Tuhan, semoga panjang umur, semoga demikian,
Ya Tuhan, semoga tiada rintangan, semoga demikian,
Ya Tuhan, semoga baik, semoga demikian,
Ya Tuhan, semoga bahagia,
Ya Tuhan, semoga sempurna,
Ya Tuhan, semoga rahayu,
Semoga tujuh pertambahan terwujud.

3.     Kramaning Sembah

Kramaning sembah adalah tata cara persembahyangan demi keseragaman dan kemantapan dalam usaha mendekatkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kramaning sembah merupakan pedoman tentang tata cara melaksanakan persembahyangan.
Berdasarkan Keputusan Pesamuhan Agung  Parisada Hindu Dharma Indnesia tanggal 2 Maret 1990 ditetapkan tata cara persembahyangan sebagai berikut.

a.       Persiapan sembahyang
Sebelum peersembahyangan dilaksanakan, hendaknya umat memerhatikan dan melaksanakan serta mempersiapkan hal-hal sebagai berikut.
·         Asuci laksana, yaitu membersihkan diri lahir batin.
·         Pakaian, yaitu berpakaian sembahyang yang bersih dan rapi.
·         Mempersiapkan bunga, dhupa, dan bersikap duduk yang baik.
b.      Pelaksanaan sembahyang
Pelaksanaan sembahyangan ditentukan dengan urutan-urutan sebagai berikut.
·         Muspa puyung dengan mencakupkan tangan di atas ubun-ubun.
·         MenyembahSang  Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Hyang Aditya.
·         Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan (pura-pura tertentu), Pura Dalem, Puseh, Bale Agung atau Desa, dan lain sebagainya.
·         Menyembah Tuhan sebagai pemberi anugerah.
·         Sembah atau muspa puyung.
c.       Mohon tirtha dan bija
Setelah persembahyangan dilaksanakan dilanjutkan dengan mohon tirtha dan bija. Setelah itu dilanjutkan dengan persembahyangan untuk memohon anugerah-Nya dan seterusnya. Berikutnya ini adalah kutipan mantra atau puja untuk pura pelinggih-pelinggih tertentu, antara lain.
1)      Mantra untuk di Pura Desa atau Bale  Agung, sebagai berikut.
“Om, Isano sarwa widnyana, Iswara sarwa bhutanam,
Brahmano dhipati Brahman, Ciwastu sada ciwaya,
Om, Ciwa dipataya namah”
Artinya :
Ya Tuhan, yang tunggal maha besar, selaku yang maha kuasa, menguasai semua makhluk, selaku Brahma raja dari para Brahman selaku Siwa dan Sadasiwa.
Ya, Hyang Siwa, hamba menyembah padamu.

2)      Mantra untuk di Pura Puseh, sebegai berikut.
“Om, Giripati maha wiryam, mahadewa prathista lingam, sarwa dewa pranayanam, sarwa jagat prathistanam, Om, Giripati dipata ya namah”
Artinya :
Ya Tuhan, selaku Giripati yang maha agung, maha dewa dengan wujud lingga yang mantap, semua dewa tunduk padamu,
Om Giripati, hamba menyambutmu.

3)      Mantra untuk di Pura Dalem, sebagai berikut.
“Om, Catur dewi mahadewi, catur asrama bhatari,
Ciwa jagat pati dewa, Dhurga masarira dewi,
Om, Catur dewi dipataya namah”
Artinya :
Ya Tuhan, saktimu beerwujud Catur dewi, yang dipuja oleh catur asrama, sakti dan Siwa, Raja semesta alam, dalam wujud Dewi Dhurga,
Ya Catur dewi, hamba menyembah ke bawah kakimu.

4)      Mantra untuk pemujaan di Pura Leluhur, seperti Kemulan, Paibon, Dadia, Pedharman sebagai berikut.
“Om Brahma wisnu iswara dewam, jiwatmanam trilokanam, sarwa jagat prathistanam, sudha klesa winasanam,
Om, Guru paduka dipatya namah”
Artinya :
Ya, Tuhan selaku Brahma, Wisnu, Iswara, yang berkenan turun menjiwai isi triloka, semoga seluruh jagat tersucikan, bersih serta segala noda terhapuslah oleh-Mu. Ya Tuhan, selaku Bapak alam, hamba memuja-Mu.

5)      Mantra untuk pemujaan di Pura Segara dan penyawangan-Nya, mantra sebagai berikut.
“Om, Nagendra krura murttinam, Gajendra matsya waktranam,
Bruna dewa masariram, sarwa jagat suddhatmakam”
Artinya :
Ya Tuhan, sebagai Maharaja dari para naga yang hebat, raja gajah mina agung berwujud selaku dewa Baruna, penyuci daripada jiwa segala makhluk dalam alam ini.

6)      Mantra untuk pemujaan di Pura Batur, Ulun Suwi, Pura Danu, Pengulu Carik, dan sebagainya, adalah sebagai berikut.
“Om, Cri dewi kebhawyam, sarwa rupa watitasya,
Sarwa jnaka mitidatyam, cri cri dewi namastute”
Artinya :
Ya Tuhan, sakti-Mu selaku dewi Sri yang maha dermawan dan mulia yang menganugrahkan kemakmuran bagi semua makhluk
Ya Dewi Sri, kami memuja-Mu.

7)      Mantra untukk pemujaan pada hari Saraswati, sebagai berikut.
“Om, Brahma putrid maha dewi, brahmannya brahma wandini,
Saraswatisa ya jnam, prajnana ya Saraswati”
Artinya :
Ya Tuhan, sebagai sakti dari Brahma yang berwajah sangat cantik, yang disebut dewi yang maha agung, Tuhan yyang menjadi jiwa murni, diberi gelar Saraswati yang indah, yang mengatur batin semua makhluk, yang mengatur batin semua makhluk, yang maha mengetahui, disebut Saraswati.
“Om, Saraswati namostubhyam, waradi kama rupini,
Siddhir asthma karoksami, siddhir bhawantume sadham”
Artinya :
Ya Tuhan, yang selalu dipuja yang bergelar Saraswati, yang berwajah cantik indah berkuasa mempengaruhi kami semua, selalu berkuasa kepada semua dunia.
“Om Sang Saraswati cweta warna ya i namah swaha,
Om Bang Saraswati rakta warna ya i namah swaha,
Om Tang Saraswati pita warna ya i namah swaha,
Om Ang Saraswati krsna warna ya i namah swaha,
Om Om Ing Saraswati wicwa warna ya i namah swaha”
Artinya :
Ya Tuhan, demikianlah pujaanku ke hadapan Saraswati yang berwarna putih, berwarna merah, berwarna kuning, berwarna hitam, dan Saraswati yang memiliki serba warna, hamba-Mu selalu memuja.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar